Pendekatan Pembelajaran Agama dan Pancasila
Oleh: Kang Marbawi
Salam untuk semua saudara sebangsa setanah air,dari berbagai suku, agama, etnis, budaya, kepercayaan dan warna kulit apapun. Kita adalah suadara sebangsa dan setanah air. Semoga kita semua selalu sehat dan bahagia.
Bincang ringan tentang Pancasila edisi ke tiga (3) ini meneruskan diskusi kita tentang Pancasila. Di awal tulisan pertama, kita mendiskusikan bahwa Nilai Pancasila sama dan sebangun atau compatible dengan nilai-nilai agama, agama apapun dan sesuai dengan nilai kearifan lokal. Pada tulisan edisi ke dua (2) kita mendiskusikan tentang watak keabadian Pancasila. Nah pada kesempatan bincang-bincang tentang Pancasila edisi ke 3 ini, kita ingin mendiskusikan lebih dalam bagaimana agama dipelajari selama ini oleh masyarakat.Khususnya di lembaga pendidikan formal. Termasuk bagaimana Pancasila seharusnya kita pelajari.
Di sekolah, semua siswa belajar agama sesuai dengan agama yang dianutnya. Siswa Muslim belajar tentang Islam, siswa Kristen, Katolik, Hindhu, Budha dan Konghuchu belajar agama sesuai dengan agamanya. Dalam mempelajari agama ada beberapa pendekatan: 1) pembelajaran ke dalam (learning into) agama, 2) belajar tentang (learning about) agama dan 3) belajar dari (learning from) agama.
Belajar ke dalam agama berarti bahwa suatu agama diajarkan dari perspektif sendiri oleh orang dalam. Sehingga memungkinkan siswa untuk memperkuat komitmen pada agamanya sendiri. Pendekatan belajar ke dalam agama merupakan hal yang pertama yang dilakukan oleh guru. Ini berkaitan dengan penguatan atau penanaman fondasi agama kepada siswa terkait “tauhid” atau “teologi” atau “aqidah”. Tidak hanya soal tauhid,tetapi juga tentang praktek ritual ibadah dan nilai-nilai akhlak yang ada dalam ajaran agama.
Prespektif “belajar agama dari dalam ini”, sangat dipengaruhi oleh wawasan keagamaan yang terbuka (inklusif) dan pengalaman keagamaan yang bersangkutan (baca- guru). Wawasan inklusif keagamaan berkaita dengan perspektif yang terbuka atas penafsiran teks agama. Hal ini berkaitan dengan tafsir inklusif atas teks-teks dari kitab suci. Sementara pengalaman keagamaan seorang guru, berkaitan dengan pengalaman perjumpaan secara sosial seseorang dengan pihak “lian”atau yang bukan se-agama,bukan se paham, bukan se-kelompok dan lain sebagainya. Sikap terbuka dalam pengalaman perjumpaan terhadap pihak ”lian” ini memberikan perspektif penghargaan terhadap perbedaan pandangan.
Disini, jika para guru agama tidak memiliki wawasan yang kuat tentang pendekatan pembelajaran agama (belajar tentang agama dan belajar dari agama) serta wawasan keilmuan agama yang mendalam, pembelajaran agama akan terjebak kepada dogmatisme. Sehingga ruang untuk mengeksplorasi nilai-nilai universale dari agama terlewatkan.
Hal ini (baca dogmatisme) akan melahirkan klaim kebenaran sepihak, berdasarkan satu pandangan saja, baik kepada internal agama apalagi kepada eksternal agama lain. Sehingga menutup ruang toleransi terhadap pandangan dari luar atau pandangan yang berbeda. Belajar ke dalam agama, jangan sampai memperbesar ruang klaim kebenaran sepihak dan memperbesar klaim prasangka kepada pihak lain. Justru belajar ke dalam agama harus memperkuat ruang dialog “teologis” dengan tetap meyakini dengan seyakin-yakinnya aqidah atau kepercayaan kepada agama kita sendiri. Namun tetap membuka ruang dialog dengan terhadap entitas “teologis” agama lain. Sekaligus menyempitkan bahkan menghilangkan ruang untuk prasangka tumbuh dan menutup “kebencian” kepada teologis lain berkembang.
Ketika belajar ke dalam agama, tanpa keterbukaan untuk menerika teologi dari agama lain,m maka ruang kelas agama hanya akan menjadi medan pertempuran ideologi antar agama. Hal ini akan berakibat kepada menguatnya sentimen keagamaan yang tertanam di kalangan siswa. Tentu hal ini tidak kita inginkan.
Belajar tentang agama, memperlakukan agama sebagai subjek studi akademis. Nah mungkin untuk pendekatan ini tidak diberikan di lembaga pendidikan dasar dan menengah. Namun diberikan pada level pendidikan yang lebih tinggi. Sebab pada pendekatan tentang agama, siswa belajara agama lebih komprehensif dan tidak satu agama. Mungkin kalau di perguruan tinggi belajar tentang agama, ada dalam mata kuliah perbandingan agama. Dalam konteks pendidikan dasar dan menengah, belajar tentang agama, bisa dengan cara menghadirkan perbedaan praktek keagamaan atau paham sebagai sesuatu yang wajar dan harus dihormati dan dihargai. Hal ini mendidik siswa untuk memahami bahwa setiap agama memiliki teologi dan ritual yang berbeda yang harus dihargai dan dihormati. Penghargaan terhadap perbedaan teologi, ritual, paham suatu agama adalah inti dari belajar tentang agama.
Sementara belajar dari agama menempatkan siswa di pusat proses pembelajaran dalam menemukan jawaban atas pertanyaan mereka sendiri tentang isu-isu agama dan moral. Pada pendekatan ini, kita (siswa) mempelajari agama dimaksudkan untuk lebih kritis terkait isu-isu kekinian atau kontemporer. Sekaligus memperkuat basis moral agama dalam memandang berbagai isu kontemporer tersebut. Basis moral agama atau nilai-nilai agama yang universal menjadi fondasi untuk menjawab berbagai persoalan aktual tersebut. Disini sekaligus membuktikan bahwa agama bisa memberi jawaban atas persoalan kekinian, aktual dengan tetap berpegang pada teks namun tetap kontekstual. Beberapa ahli dan praktisi sepakat bahwa belajar ke dalam agama harus diajarkan sejak dini untuk membangun landasan karakter keagamaan yang inklusif.
Lalu bagaimana dengan belajar Pancasila? Apakah sama pendekatannya dengan belajar agama? Untuk menjawabnya kita akan diskusikan di edisi selanjutnya. Semoga bermanfaat. Wallahualam bishawab.Mari kita diskusikan. Afwan Salam Kang Marbawi.
Sumber: https://pasundan.jabarekspres.com/