Memaknai sila keempat “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan”
Bagian ke 8
Kang Marbawi
Pandemic Opportunity
“Kerakyatan kita sedang diuji Pandemic Covid-19 (Corona Virus Disease-19). Kerakyatan dalam kondisi seperti ini butuh dipimpin oleh hati dan pikiran yang memiliki sikap hikmah dan bijaksana. Tak butuh orang dengan pikiran obsesif kompulsif, selalu mengeluhkan apa yang terjadi dan mengutuki semua orang”
Kasus Corona Virus Wuhan – yang kemudian dikenal dengan Covid-19, di Indonesia, diawali dari sebuah pesta dansa di Klub Paloma & Amigos, Jakarta, 14 Februari 2020 lalu. Pesta dansa tersebut diikuti oleh beberapa warga negara Indonesia (WNI) dan ekspatriat -orang asing yang tinggal di Indonesia. Salah satu WNI itu adalah warga Depok, NT (31). Dua hari pasca pesta, NT mengidap gejala batuk, panas-dingin dan sesak nafas. Kemudian NT berinteraksi dengan ibunya MD (64) mengabarkan kondisinya yang sakit. Pada akhirnya mereka dinyatakan suspect Covid-19.
Senin, 2 Maret 2020, Presiden Joko Widodo mengumumkan Covid-19 resmi masuk Indonesia. Dan dinyatakan pandemic global. Sejak saat itu, Covid-19 menyerang Indonesia.
Mulailah era “penjajahan” Covid-19, si “tak kasat mata”. Diksi “menjajah” merujuk kepada keadaan yang menimbulkan ketakberdayaan serta memorak-porandakan semua sendi kehidupan manusia, bangsa dan negara. Semua aspek kehidupan politik, sosial-budaya, pendidikan, terutama ekonomi bahkan agama dan negara harus tertunduk lesu dan menyesuaikan diri. Dan hampir-hampir negara kewalahan.
Invasi Covid-19, betul-betul menguras pundi-pundi dan kekuatan negara. Merobek-robek perasaan serta nurani kemanusiaan. Angka-angka yang selalu merangkak naik di grafik yang disampaikan Satuan Gugus Tugas (Satgas) Covid-19 setiap hari seolah menjadi alarm kegentingan pandemic. Tak kuasa diturunkan atau dikendalikan. Hingga tantara pun diturunkan.
Bunyi sirine ambulan yang lalu lalang setiap hari, seperti teror yang mengecutkan mental. Seolah begitu dekat malaikat maut akan menjemput ajal. Seperti pemulung yang mengaduk-ngaduk sampah mencari sisa-sisa yang disia-siakan. Diambil untuk mengurangi sampah-sampah “perilaku kotor” manusia. Covid-19 seolah mengayak nyawa manusia -yang lalai atau obsesif, tanpa pandang bulu.
Seperti sepenggal puasinya Abu-Ali Al-Hasan bin Hani Al-Hakam alias Abu Nuwas:
“Puisi orang mati telah sampai padamu melalui kata-kata seseorang bernyawa”
“Yang berada di persimpangan hidup dan kematian”
Ya, invasi Covid-19 membuat masyarakat tak berdaya. Rumah sakit over kapasitas. Pasien tergeletak tak berdaya di selasar atau tenda-tenda. Ritual budaya dan agama terdiam dan membisu di pojok. Ekonomi lari lintang pukang entah kemana. Tak sudi “menyapa” 80 persen kaum papa rakyat Indonesia. Rakyat terjungkal, tersungkur di got pusaran pandemic. Pemerintah limbung tujuh keliling, hampir di Knock Out (KO). Termegap-megap, mengangkat rakyat agar tak kelamaan mengendap di dasar got pandemic sekaligus melawan Covid-19. Hanya 20 persen dari rakyat Indonesia yang masih mampu tetap tersenyum ditengah kelesuan ekonomi. Mereka tak goyah. Dan sebagian dari mereka mencoba mencari selamat sendiri.
Seperti orang idiot! Idiot merujuk kepada budaya Yunani, untuk orang yang “tak cawe-cawe” berpartisipasi dalam urusan publik melawan Covid-19. Orang idiot macam ini hanya menggerutu! Menyalahkan dan mencari kesalahan! Menyumpahi semua orang. Pemerintah dikutuki tak becus! Padahal dia sendiri tak melakukan apa-apa. Moeldoko bilang orang-orang seperti ini hanya “lalat politik”! Kerjanya cuma “ngeriwuki”, tanpa sedikitpun terlibat untuk ikut menyelesaikan masalah pandemic. Model orang obsesif, idiot dan “lalat politik” ini menyebabkan turunnya etika public.
Invasi Covid-19 ini seharusnya melahirkan pandemic opportunity. Yaitu kesempatan menguatkan inklusi sosial dan pembuktian kecerdasan kewarganegaraan masyarakat Indonesia. Diksi kewarganegaraan merujuk keanggotaan seseorang dalam satuan politik tertentu (secara khusus: negara) yang dengannya membawa hak untuk berpartisipasi dalam ruang publik sosial-politik.
Kecerdasan kewarganegaraan dalam bentuk mengambil peran dan tanggungjawab bersama melawan Covid-19. Melahirkan kreatifitas untuk bahu membahu dan bergotong royong terlibat dalam penanganan bersama Covid-19. Minimal membantu bergotong royong memenuhi kebutuhan keluarga, teman, tetangga dan orang-orang di lingkungan yang sedang isolasi mandiri (isoman) Covid-19. Ada panggilan untuk membela dan membebaskan kemanusiaan-kerakyatan Indonesia dari pandemic. Kecerdasan kewarganegaraan adalah modal sosial kita.Tunaikan apa yang menjadi kewajiban. Inilah perjuangan kita! Inilah Jihad kita, melawan pandemic Cov-19!
Rakyat (kerakyatan) Indonesia sedang sakit. Kita harus memimpin -terlibat untuk menyelamatkan kemanusiaan rakyat Indonesia- dengan hikmah kebijaksanaan (dalam bentuk kecerdasan kewarganegaraan) dengan berjihad melawan Covid-19. Dari pada mengutuki serta bersikap idiot, ada baiknya kita meresapi lagu balada Abid Ghoffar Aboe Dja’far alias Ebiet G Ade, “Untuk Kita Renungkan”. (150721)
Sumber: https://pasundan.jabarekspres.com/