Type Here to Get Search Results !

 


Memaknai Kemerdekaan Sila Pertama

“KETUHANAN YANG MAHA ESA”

Oleh: Kang Marbawi

Salam saudara sebangsa dan setanah air.  Semoga Allah selalu memberi kesehatan dan rasa syukur bahwa kita hidup di tanah air Indonesia yang diberkahi.  Minggu yang lalu kita telah mendiksusikan tentang sejarah lahirnya Pancasila, dan kita telah membaca bagaimana pidato mendalam dan heroik dari Ir.Soekarno. Dengan membaca sejarah kelahiran Pancasila tersebut, diharapkan kita mendapatkan perspektif bagaimana pentingnya sebuah filosofi negara, pentingnya sebuah ideologi negara untuk menjalankan dan membangun negara besar Indonesia.
Minggu yang lalu juga kita mendiskusikan dalam kehidupan bernegara dan kehidupan sehari-hari masyarakat, Pancasila menjadi pegangan dan acuan. Sementara agama menjadi pegangan dalam kehidupan keagamaan individu. Ketika kita berbuat baik, maka perbuatan baik tersebut baik menurut agama, baik menurut norma masyarakat, baik menurut adat dan baik menurut Pancasila. Artinya nilai-nilai Pancasila tidak bertentangan dengan nilai-nilai semua agama. Karena nilai-nilai Pancasila bersifat universale dan comaptible, atau sama dan sebangun dengan nilai-nilai Indonesia. Selain itu, Pancasila menjadi satu-satunya yang bisa menyatukan semua kemajemukan bangsa Indonesia. Pancasila menjadi penyebut yang sama dari  keanekaragaman bangsa Indonesia.
Nah,kali ini kita akan mendiskusikan bagaimana kita memaknai Kemerdekaan RI yang ke 75 dalam sila pertama dari Pancasila, Ketuhanan Yang Maga Esa. Sila-sila dalam Pancasila adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan satu sama lain. Sila pertama menjadi ruh dari sila-sila lain dari Pancasila. Mari kita mulai mendiskusikan makna dari sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Bangsa Indonesia, sejak zaman dahulu memiliki kesadaran terhadap Tuhan. Dengan berbagai interpretasinya. Mulai dari zaman animisme,dinamisme, zaman Hinduisme, Budha, agama lokal,hingga agama Islam, Kristen-Katholik, dan Khong Hucu. Selain itu, sejak lahir bahkan sebelum lahir hingga meninggal, manusia Indonesia dalam berbagai budaya dan adatnya selalu terkait dengan ritual agama.Sebut saja di adat masyarakat Jawa, ada istilah “ngupati” untuk mendoakan jabang bayi yang masih berumur emapt bulan dalam kandungan. Atau ritual “nujuh bulanan” untuk mendoakan jabang bayi yang baru berumur tujuh bulan dalam kandungan. Ketika lahirpun sama, adabanyak ritual dan kegaitan keagamaan di adakan oleh setiap agama. Hingga kematian datang menjemput pun ada ritual keagamaan yang dilakukan. Bahkan pasca kematian pun masih ada ritual yang dijalankan, seperti “matang puluh”, “nyatus” hingga “haul”.  Intinya, kehidupan masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu kala, sejak dalam kandungan sampai pasca kematiannya, tidak lepas dari ritual agama.
Ini menunjukkan bahwa Bangsa Indonesia, memiliki genetis yang memercayai Tuhan sejak dahulu kala, dari zaman primitif hingga zaman modern. Karena itu Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” menunjukkan jati diri Bangsa Indonesia yang memiliki keyakinan penuh akan keberadaan Tuhan. Dan tidak mempercayai atau tidak mengakui adanya paham yang tidak bertuhan atau Atheis. Walaupun mungkin, paham atheis ada penganutnya. Inilah yang dimaksud dengan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yaitu Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki keyakinan akan Tuhan. Yang diwujudkan dalam agama-agama dan kepercayaan yang diyakini oleh masyarakat Indonesia.
Tulisan minggu ini sekaligus refleksi Kemerdekaan Bangsa Indonesia yang ke-75 tahun. Bangsa Indonesia telah ada sejak hampir 4000 tahun yang lalu. Sejak terjadi gelombang migrasi bangsa- bangsa kuno di dunia,Kepulauan di Indonesia, menjadi tujuan bangsa-bangsa Austronesia-Melanesia. Dari sini menunjukkan Bangsa Indonesia telah ada sejak berabad lamanya.Dan Pancasila merupakan saripati dari kebudayaan masyarakat Indonesia yang telah berakar lama. Salah satunya kepercayaan kepada Sang Maha Pencipta.
Lalu bagaimana kita memaknai sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”?
Berdasarkan Tap MPR No. 1 tahun 2003, tentang Butir-Butir Pancasila, sila pertama memiliki tujuh butir makna sebagai berikut:  1) Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 2) Manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.  3) Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang  berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 4) Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 5) Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. 6) Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing. 7) Tidak memaksakan suatu agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.
Sementara menurut Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa memiliki lima makna:1) Bangsa Indonesia adalah Bangsa yang ber-Tuhan dan menolak paham anti Tuhan (atheism). 2) Bangsa Indonesia mengamalkan ajaran agamanya secara berkeadaban, saling menghormati satu sama lain. 3) Bangsa Indonesia wajib untuk menyembah Tuhannya dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing secara leluasa, berkeadaban dan berkeadilan. 4) Bangsa Indonesia melaksanakan perintah agama dan kepercayaan masing-masing dengan tetap mengedepankan harmoni dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. 5) Bangsa Indonesia tidak memaksakan satu agama dan kepercayaan tertentu untuk dianut oleh warga negaranya. Tiap-tiap warga negara memiliki hak untuk memilih dan menjalankan agama dan kepercayaan yang dianutnya.
Dari keduanya (TAP MPR no 1 Tahun 2003 dan BPIP) saya ingin menggarisbawahi beberapa hal:1) keduanya sama menekankan kepada kebebasan memeluk  dan menjalankan ibadah. 2) keduanya sama-sama menekankan pentingnya penghargaan, saling menghormati antar sesama umat beragama dan yang ke 3) keduanya menekankan dalam menjalankan ajaran agama atau kepercayaannya masing-masing tersebut harus dilandasi kepada kemanusiaana,yang berkeadaban dan berkeadilan.
Mari kita diskusikan menjalankan agama dan keyakinan yang berkeadaban dan berkeadilanmenurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.  Mohon izin saya ingin mengutip salah satu Hadits Rasul,yang menyatakan bahwa”Aku di utus kemuka bumi adalah untuk menyempurnakan akhlak (peradaban) manusia”. Bisa jadi dalam agama dan kepercayaan lain pun memiliki diksi yang sama tentang pentingnya membangun akhlak dan peradaban sebagai tujuan dari beragama.

Ini artinya bahwa buah dari agama adalah para pemeluk agama memiliki sikap yang berakhlak, dan dari sikapnya yang berakhlak tersebut, mampu melahirkan peradaban dan kebudayaan yang maju dan besar. Sikap berakhlak mencerminkan  keadaban pemeluk agama yang memahami nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, kesetaraan,penghargaan terhadap perbedaan, dan mampu menebar kedamaian dimanapun dia berada. Saya ingin mediskusikan makna beragama yang beradab dan adil dalamsekali tulisan.Namun sayangnya karena keterbatasan  kolom dan juga untuk mengendapkan perasaan penasaran para pembaca,mohon izin untuk kita lanjutkan minggu depan ya.Smeoga Allah, Tuhan Yang Maha Esa memberi kesempatan kepada kita semua untuk saling belajar bersama dalam kolom ini.Sala, Kang Marbawi.ntunan kepada pemeluk semua agama. Bahwa kebebasan berekspresi dalam menunjukkan kecintaan kepada simbol agama, tidak boleh mengganggu atau menyinggung simbol, perasaan, keyakinan dan kehidupan pemeluk agama lain. Inilah yang tidak dimiliki oleh ideologi lain dalam soal kebebasan beragama dan berekspresi di ruang publik.
Selain itu, jaminan hukum menyatakan pendapat dan berekspresi diatur dalam UUD 1945 Amandemen ke-2, yaitu dalam Pasal 28 E ayat (2), yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”.

Selanjutnya, ayat (3) menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Turunan UUD 1945 adalah UU, dalam kaitan ini menunjuk kepada UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. UU secara rinci mengatur kebebasan berekpresi. Pasal 22 ayat (3) UU tersebut menyebutkan bahwa “Setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan dan menyebar luaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan atau tulisan melalui media cetak maupun media cetak elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa”.

Prinsipnya, Indonesia menjamin kebebasan berekspresi, tetapi ada batasan yang harus diperhatikan, yaitu memperhatikan nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum dan keutuhan bangsa. Inilah yang membedakan kebebasan berkespresi di Indonesia dengan kebebasan berekspresi di dunia lain. Hanya saja, jika pembelaan terhadap simbol agama dilakukan dengan cara kekerasan dan melanggar nilai-nilai kemanusiaan, itu sudah dikategorikan melanggar hukum.

Bagi umat Islam yang ada di Indonesia, jika ditanya, “Apakah betul Nabi Muhammad SAW harus dibela dengan melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan, termasuk menghilangkan nyawa? Tentu tidak! Kita tahu, Nabi Muhammad SAW adalah teladan yang paripurna dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Nabi Muhammad SAW mencontohkan sikap yang pantas kita tiru dan teladani pada saat ditolak dan dilempari penduduk Thaif atau dihina oleh pengemis Yahudi di pasar. Nabi tidak membalas sedikit pun dengan kekerasan apalagi dengan melanggar nilai kemanusiaan. Sebaliknya, Nabi membalasnya dengan kasih sayang dan doa.

Dari sini, kita dapat mendiskusikan jenis dan model pembelaan terhadap agama yang bisa dilakukan dengan berbagai cara. Yang jelas, bukan dengan cara kekerasan! Banyak cara beradab, misalnya mengajukan petisi yang berisi protes terhadap pernyataan Macron. Membela agama, pada prinsipnya, jangan melanggar ajaran agama dan prinsip kemanusiaan, sekaligus menghormati simbol agama dan keyakinan yang lain.

Sila pertama Pancasila menetapkan batasan tersebut secara tersirat. Dalam menjalankan kehidupan beragama di masyarakat, sila pertama memberi kebebasan untuk beragama dan menghormati kepada pemeluk agama lain. Ajaran agama apa pun menempatkan derajat yang tinggi kepada nilai kemanusiaan. Maka tidak dibenarkan berbagai macam bentuk pembelaan terhadap agama dengan melanggar nilai-nilai kemanusiaan yang dijunjung tinggi dalam agama. Melanggar nilai kemanusiaan adalah melanggar nilai agama.

Marilah kita belajar untuk jernih dalam menyikapi setiap ekspresi keagamaan di ruang publik. Jangan mudah untuk terprovokasi dan juga tidak gampang mengekspresikan keyakinan secara berlebihan. Ekspresi keagamaan juga menuntut tanggung jawab kita terhadap nilai kemanusiaan dan penghargaan terhadap yang lain. Itu yang perlu diutamakan. Mari kita renungkan.
Salam, Kang Marbawi.

Sumber: https://pasundan.jabarekspres.com/

Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
AGPAII Channel

Subscribe youtube AGPAII