
Tasikmalaya, Rabu, 27 Juli 2023 – Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islan Indonesia bekerja sama dengan INFID (International NGO Forum on Indonesia Development) menyelenggarakan Pelatihan advokasi kebijakan dan program moderasi beragama di sekolah, Kegiatan dilaksanakan di Kota Tasikmalaya pada 27-29 Juli 2023.
Kegiatan bertujuan untuk penguatan pemahaman dan keterampilan dalam advokasi kebijakan dan program moderasi beragama di sekolah yang berkelanjutan; membangun kesepahaman dan kerjasama yang harmonis sesuai kapasitasnya untuk mendorong moderasi beragama di sekolah antara kepala sekolah, wakil kepala sekolah, Guru BK, Guru Agama serta Dinas Pendidikan setempat; mengembangkan program moderasi beragama di sekolah sebagai tindak lanjut sekolah dan dinas Pendidikan di tingkat Kabupaten/Kota.
Dalam sambutannya Iwan Misthohizzaman selaku Direktur Eksekutif INFID mengatakan “ .. kerjasama INFID dengan AGPAII, merupakan sesuatu yang sangat penting untuk berkolaborasi mendukung program Moderasi Beragama, karena ini merupakan gagasan negara harus didukung semua pihat terkait khususnya para guru.
INFID bekerjasama dengan AGPAII bertujuan memastikan bahwa Indonesia ke depan menjadi toleran, menghargai perbedaan dan mengutamakan perdamaian dengan siapapun di lingkungan manapun. Menjadi tanggung jawab bersama bahwa generasi selanjutnya memelihra toleransi dan menghargai keragaman.
INFID akan terus mendukung dan bersinergi secara kelembagaan. Terimakasih telah berjuang untuk mewujudkan Moderasi Beragama melalui acara ini serta mensukseskannya sambil berjalan untuk segera dilaksanakan.
Sejalan dengan itu Endang Zenal selaku Ketua Umum DPP AGPAII mengatakan bahwa “dukungan NGO seperti INFID terhadap program Moderasi Beragama sebagai indikator menggebyarkan nilai-nilai moderasi beragama dalam rangka mengobati penyakit-penyakit bullying, kekerasan seksual dan intoleran yang sering terjadi di lingkungan sekolah”.
Endang junga memaparkan pandangannya yang terinspirasi dari Menteri Agama ke-24 Lukman Hakim Saifuddin bahwa harus membedakan antara Moderasi Agama dan Moderasi Beragama karena Agama itu sudah moderat yang harus moderat itu adalah cara beragama seseorang.
Sekolah adalah miniatur lingkungan masyarakat yang direkayasa menyerupai kehiduapan nyata dengan penyelenggaraan yang penuh dengan penerapan tatanan budaya yang sesuai kesepakatan universal dengan panduan Agama sebagai sumber kebajikan.
Salah satu tempat yang strategis untuk rekayasa atau intervensi budaya baik, toleran, inklusi adalah lingkungan sekolah, karena sekolah adalah miniatur masyarakat yang sesungguhnya, akan tetapi sampai akhir ini sekolah seringkali justru menjadi tempat intoleransi yang berbalut kebaikan dan kebenaran.
Belum lagi masih banyak sekolah tidak mampu mengendalikan fenomena yang sering dijumpai dalam dunia pendidikan berupa tindakan kekerasan, tawuran, vandalisme, bullying, dll.
Fenomena kekerasan dalam dunia pendidikan yang memprihatinkan itu tentu bukan gejala yang lahir dengan sendirinya. Bisa jadi kekerasan itu berakar pada banyak faktor seperti muatan kurikulum yang hanya mengedepankan aspek kognitif dan mengabaikan aspek afektif dan bahkan mungkin berakar pada paradiga pendidikan yang melihat anak didik sebagai obyek rekayasa sosial, dan tidak menempatkannya sebagai proses humanisasi.
Faktor lain yang memungkinkan lahirnya kekerasan dalam pendidikan adalah lingkungan sosial yang diwarnai dengan berbagai konflik, bahkan seringkali masalah sosial berbanding terbalik dengan muatan pendidikan yang disampaikan di sekolah, sekolah berjibaku sendiri menerapkan norma-norma kebaikan dan kedamaian tetapi milieu masyarakat dengan berbagai argumen banyak melanggar dan itu dipertontonkan secara terbuka.
Belakangan ini diberitakan banyak pernyataan dunia pendidikan yang terpapar paham radikalisme dan intoleran, tentunya menjadi perhatian banyak pihak dan perlu pencegahan dalam segala lini untuk masuknya paham tersebut ke dalam dunia pendidikan.
Selain itu kita bisa melihat pelaku teroris dan bom bunuh diri didominasi oleh remaja yang kisaran 18-30 tahun bahkan di Surabaya dilakukan oleh satu keluarga dan melibatkan anak usia sekolah. Beberapa penelitian telah menemukan beberapa data keterpaparan sekolah oleh radikalisme dan intoleran,